AR & VR dalam Dunia Desain Grafis: Sekadar Gimmick atau Revolusi?

Azura Team2025-10-29

Realita Baru di Dunia Desain

Teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) bukan lagi hal futuristik di tahun 2025. Dari studio desain besar sampai freelancer di kamar kos, banyak yang mulai eksplor gimana dua teknologi ini bisa bikin karya visual jadi lebih immersive dan interaktif.

Kalau dulu desain grafis identik dengan layar datar dan software 2D seperti Photoshop atau Illustrator, sekarang desainer bisa ‘masuk’ ke dalam ruang desain mereka lewat headset VR, atau menampilkan hasil desain langsung di dunia nyata lewat AR. Gila sih, kayak hidup di film sci-fi.

Bukan Sekadar Gimmick Marketing

Awalnya, banyak yang skeptis dan menganggap AR/VR cuma gimmick buat pamer teknologi. Tapi di 2025, tren ini udah mulai buktiin nilai praktisnya. Misalnya:

  • Desain branding dan packaging: klien bisa ‘lihat’ langsung gimana kemasan produk tampil di rak toko lewat simulasi AR.
  • UI/UX design untuk metaverse: desainer mulai bikin antarmuka interaktif di dunia virtual, bukan cuma untuk layar smartphone.
  • 3D visualization: presentasi desain jadi jauh lebih hidup dengan pengalaman VR yang bisa dirasakan secara langsung.

Dengan kemampuan ini, desainer nggak cuma jual tampilan visual, tapi juga pengalaman. Dan di era digital experience seperti sekarang, itu jadi nilai tambah besar.

Tools dan Tren di 2025

Tahun ini, makin banyak tools desain yang support AR dan VR secara native. Beberapa yang lagi naik daun di kalangan kreator adalah:

  • Adobe Substance 3D & Aero untuk integrasi AR/VR di workflow desain.
  • Blender XR buat modeling 3D langsung di ruang virtual.
  • Unity & Unreal Engine yang dulunya cuma buat game, sekarang jadi platform kreatif untuk visual storytelling dan prototyping interaktif.

Bahkan beberapa aplikasi kolaboratif kayak Figma XR mulai eksperimen dengan desain 3D di ruang virtual bareng tim.

Tantangan di Balik Revolusi

Meski menjanjikan, AR/VR di dunia desain masih punya tantangan. Harga perangkat VR masih tergolong mahal, dan learning curve-nya lumayan curam. Desainer yang terbiasa dengan layout 2D harus adaptasi dengan dimensi ruang dan perspektif yang lebih kompleks.

Belum lagi soal aksesibilitas — nggak semua pengguna atau klien punya perangkat buat menikmati karya AR/VR. Jadi, perlu strategi gimana desain tetap relevan di semua platform.

Jadi, Gimmick atau Revolusi?

Jawabannya: revolusi yang masih bertumbuh. AR dan VR jelas mengubah cara kita memandang desain grafis — dari sekadar komunikasi visual jadi pengalaman interaktif yang bisa dirasakan. Tapi masih butuh waktu sampai teknologi ini benar-benar jadi mainstream di semua level industri.

Yang pasti, desainer yang mau keep up di 2025 perlu mulai kenalan dan eksplor teknologi ini. Siapa tahu, karya desainmu berikutnya bukan cuma dilihat… tapi bisa dihidupi juga.


See More Posts

background

Membangun User Experience yang Lebih Interaktif dengan Conversational UI di Tahun 2025

background

Desain Minimalis dalam UI/UX: Simplicity yang Meningkatkan Pengalaman User

background

Aksesibilitas dalam UI/UX: Bagaimana Mendesain untuk Semua Pengguna

Show more