Azura Team • 2025-11-19
Azura Labs, Semarang – Di tahun 2025, aplikasi kesehatan sudah jadi “teman wajib” buat banyak orang. Mulai dari tracking detak jantung, pantau gula darah, konsultasi online, sampai emergency alert—semua ada di satu genggaman. Tapi, ada satu hal yang sering diremehkan: User Interface (UI).
Padahal, UI itu bukan cuma soal tampilan estetik. Dalam konteks aplikasi kesehatan, UI yang buruk bisa bikin salah klik, salah baca data, bahkan… membahayakan nyawa.
Yup, seserius itu.
Tahun 2025, wearable dan health app makin canggih, makin otomatis, dan makin terintegrasi. Banyak rumah sakit sudah pakai smart health system, dan pasien makin bergantung pada data real-time.
Artinya:
Satu kesalahan interpretasi karena UI berantakan bisa bikin keputusan medis jadi salah.
Berikut contoh kasus berdasarkan tren masalah yang sering muncul di tahun 2024–2025:
1. Data Vital Berwarna Mirip, Pengguna Salah Baca
Di sebuah aplikasi monitoring jantung, warna untuk “normal”, “waspada”, dan “bahaya” cuma beda sedikit—semua pakai tone hijau-kuning yang mirip banget.
Akibatnya?
Seorang pengguna yang punya riwayat aritmia ngira ritme jantungnya aman, padahal level tersebut sudah masuk kategori warning.
Dia tetap beraktivitas berat… dan akhirnya pingsan karena serangan jantung ringan.
Masalah inti:
UI warna tidak kontras → interpretasi data vital salah → tindakan pengguna terlambat.
2. Tombol Emergency Terkubur di Menu
Di satu aplikasi telemedis populer, tombol SOS darurat malah disembunyiin di menu paling bawah. Untuk mengaksesnya, pengguna harus klik 3–4 langkah.
Situasi nyata:
Seorang kakek yang tinggal sendiri mengalami sesak napas mendadak. Dia berusaha buka menu SOS, tapi panik dan enggak nemu tombolnya cepat.
Waktu terbuang 40 detik—dan untuk kondisi napas, 40 detik itu mahal banget.
Masalah inti:
Fitur kritikal tidak diprioritaskan → akses darurat jadi lambat → kondisi makin parah.
3. Bahasa Terlalu Teknis, Pengguna Biasa Bingung
Banyak aplikasi kesehatan di 2025 sudah pakai AI untuk kasih rekomendasi medis. Tapi sayangnya, bahasanya masih “dokter banget”.
Contoh notifikasi yang muncul:
“Anomali ventrikel terdeteksi dalam interval QRS”
Pengguna awam?
Ya jelas pusing.
Harusnya ada versi simplified seperti:
“Irama jantung Anda tidak normal. Segera istirahat dan hubungi dokter.”
Karena salah paham, seorang ibu muda yang melihat “anomali ventrikel” mengira itu error aplikasi dan mengabaikannya. Padahal itu indikasi masalah serius.
Masalah inti:
Bahasa teknis → pengguna salah interpretasi → risiko kesehatan meningkat.
Berdasarkan laporan desain digital di 2025, masalah paling sering adalah:
Intinya, banyak aplikasi kesehatan yang fokus ke estetika atau fitur-fitur wah, tapi lupa bahwa audiensnya termasuk lansia, orang awam, dan pasien dalam kondisi panik.
Bad UI di aplikasi kesehatan dapat menyebabkan:
Dan semua ini bisa berujung fatal.
Untuk para developer, UI designer, dan pemilik produk kesehatan di 2025, berikut rekomendasi yang wajib banget:
✔ Gunakan warna yang kontras untuk level kesehatan
Hijau = aman, kuning = waspada, merah = darurat.
Jangan pakai tone yang mirip-mirip.
✔ Prioritaskan tombol SOS
Letakkan di layar utama.
Gunakan ukuran besar dan mudah diakses oleh lansia.
✔ Tampilkan informasi dalam dua mode
✔ Kurangi langkah navigasi
Jika fitur itu kritikal, harus bisa diakses < 2 klik.
✔ Validasi desain dengan pasien
Bukan cuma dengan ahli UI/UX.
Di era 2025, di mana aplikasi kesehatan sudah jadi bagian penting kehidupan, UI buruk bukan cuma bikin orang kesel… tapi bisa bikin terjadi kesalahan yang berdampak ke nyawa.
Karena itu, setiap aplikasi kesehatan harus menerapkan UI/UX berbasis keselamatan (safety-centered design), bukan hanya user-centered design.
Kalau salah notifikasi, salah klik, atau salah baca data bisa bikin bahaya, artinya desainnya gagal.
PT. INSAN MEMBANGUN BANGSA
Jl. Lumbungsari V no 3 Kel. Kalicari, Kec. Pedurungan, Kota Semarang, Kode Pos 50198