Gaji Engineer AI Tembus Langit : Tapi Kenapa Banyak yang Burnout?

Azura Team2025-10-17

Azura Labs - Coba bayangin kerja di perusahaan yang lagi jadi pusat perhatian dunia gajimu ratusan juta per bulan, project-mu bikin heboh media, dan semua orang mikir kamu hidup di masa depan. Kedengarannya sempurna, kan?

Tapi di balik gaji fantastis itu, banyak engineer AI justru menghadapi hal yang jarang dibicarakan: burnout parah.

Tahun 2025 jadi masa keemasan sekaligus masa paling berat buat para AI engineer. Di perusahaan seperti OpenAI, Anthropic, DeepMind, dan xAI, persaingan bukan cuma soal siapa yang paling pintar bikin model AI, tapi siapa yang bisa bertahan di tengah tekanan target, etika, dan jam kerja yang nyaris tanpa batas.

Gaji Besar, Tekanan Lebih Besar

Menurut laporan Tech Talent Index 2025, rata-rata AI Engineer senior di AS digaji hingga US$500.000 per tahun, belum termasuk bonus saham. Di Asia Tenggara, angka itu mungkin setara Rp 70–100 juta per bulan untuk posisi mid-level. Tapi di sisi lain, jam kerja mereka bisa tembus 70 jam per minggu.

Banyak yang harus standby terus karena sistem training AI nggak pernah tidur, literally.

Engineer di OpenAI misalnya, harus siap debugging model multimodal yang memakan energi ribuan GPU, sementara tim di DeepMind fokus memastikan model mereka nggak menghasilkan perilaku “berbahaya”.

Hasilnya? Banyak yang mengaku sulit tidur, kehilangan motivasi, bahkan mulai mempertanyakan makna kerja mereka di dunia yang digerakkan mesin.

Burnout di Era AI

Burnout di dunia teknologi bukan hal baru, tapi di bidang AI, tekanannya beda level. Ada beban moral yang nggak semua orang siap tanggung. Gagal satu model bisa berarti bias etnis menyebar ke jutaan pengguna.

Belum lagi ketakutan eksistensial, apakah AI bakal ambil alih pekerjaanku?

Ironisnya, mereka yang menciptakan AI justru yang paling takut efeknya.

Menjaga Keseimbangan di Tengah Kekacauan

Untungnya, makin banyak perusahaan sadar kalau mental health bukan cuma urusan HR.

OpenAI dan Anthropic kabarnya mulai memberlakukan “quiet week” — seminggu tanpa rapat dan target, supaya tim bisa istirahat total.

Beberapa startup AI kecil juga menerapkan sistem rotation schedule, di mana engineer bisa cuti lebih lama setelah proyek besar rampung.

Buat para pekerja tech di luar sana, ini juga jadi pengingat penting: karier keren nggak seharusnya bikin kamu kehilangan diri sendiri.

Skill bisa diasah, model bisa di optimasi, tapi kesehatan mental nggak bisa di retrain kayak AI.

Masa Depan Engineer AI

Meski burnout jadi isu serius, permintaan untuk AI engineer tetap tinggi. Bedanya, perusahaan kini lebih cari talenta yang nggak cuma jago coding, tapi juga paham batas manusia dan mesin.

Mereka yang bisa jaga keseimbangan antara performa dan empati akan jadi tulang punggung industri AI yang lebih berkelanjutan.

Gaji tinggi itu bonus, tapi kemampuan untuk tetap waras di tengah revolusi AI? Itu superpower sesungguhnya.

Baca Juga :


See More Posts

background

Tips Membuat CV untuk Posisi Assistant

background

Kunci Sukses Berkarir di Era Digital yang Cepat Berubah

background

How AI Overcomes Bias in Recruitment

Show more