Desain UI Lokal: Bagaimana Aplikasi di Indonesia Menyesuaikan dengan Budaya?

Azura Team2025-08-28

Azura Labs, Semarang – Kalau kita ngomongin desain UI (User Interface), biasanya pikiran langsung ke tren global: flat design ala Silicon Valley, dark mode ala aplikasi internasional, atau motion design yang makin canggih. Tapi, faktanya di Indonesia tahun 2025, UI nggak bisa cuma ikut-ikutan tren luar. Aplikasi harus nyambung sama budaya, kebiasaan, bahkan bahasa sehari-hari penggunanya.

Nah, mari kita kulik bareng gimana aplikasi di Indonesia menyesuaikan desain UI biar makin relevan dan dekat dengan kita semua.

1. Bahasa dan Tone yang Lebih Akrab

Coba perhatiin aplikasi lokal populer kayak Gojek, Tokopedia, atau platform finansial kekinian. Mereka makin sering pakai bahasa yang santai dan dekat sama gaya ngobrol anak muda Indonesia.

Misalnya, bukan cuma “Transaction Successful”, tapi “Berhasil! Mantap transaksi kamu 👌”. Ini bikin pengalaman pengguna terasa lebih hangat dan nggak kaku.

2. Warna yang Nggak Asal Pilih

Kalau dulu warna aplikasi identik sama corporate banget—hijau, biru, abu-abu—sekarang banyak brand lokal pakai warna yang dekat sama budaya.

Contoh: aplikasi kuliner sering pakai warna oranye-merah biar kesannya “menggugah selera”, aplikasi edukasi pakai nuansa biru toska biar adem. Bahkan ada juga yang pakai batik pattern subtle sebagai background.

Bukan sekadar estetika, tapi warna di UI juga dipilih sesuai psikologi orang Indonesia yang suka tampilan cerah dan optimis.

3. Fitur Khas Lokal

Desain UI lokal nggak cuma soal visual, tapi juga fitur yang nyambung sama keseharian.

  • Di e-commerce, ada “COD (Bayar di Tempat)” yang ditonjolkan.
  • Di aplikasi transportasi, opsi “chat driver pakai pesan template” jadi solusi cepat.
  • Di aplikasi pembayaran, QRIS jadi elemen utama UI karena dipakai sehari-hari di warung sampai mall.

UI dibuat supaya fitur ini gampang diakses tanpa bikin ribet.

4. Adaptasi dengan Ramadan, Lebaran, dan Event Lokal

Aplikasi di Indonesia juga pintar adaptasi sama momen budaya. Pas Ramadan, UI sering berubah jadi lebih islami dengan nuansa hijau, ilustrasi bulan sabit, atau reminder waktu berbuka. Pas Agustusan, banyak yang tambahin ornamen merah putih.

Tren 2025 bahkan makin interaktif: ada mini-game di aplikasi belanja buat “ngibarin bendera” atau fitur donasi langsung dari aplikasi fintech. Ini bikin pengguna makin merasa dilibatkan secara emosional.

5. Inclusivity dan Aksesibilitas Lokal

Nggak ketinggalan, desain UI di Indonesia juga makin aware soal aksesibilitas. Misalnya:

  • Font lebih besar biar ramah buat pengguna generasi orang tua.
  • Mode hemat kuota, karena masih banyak pengguna yang pakai internet terbatas.
  • Dark mode yang friendly buat mereka yang sering buka aplikasi malam hari.

Semua ini nyambung sama kebutuhan real pengguna Indonesia, bukan sekadar ikut gaya global.


Tahun 2025 nunjukin satu hal penting: desain UI lokal di Indonesia bukan lagi sekadar ikut tren, tapi harus relevan sama budaya dan kebiasaan masyarakatnya.

Bahasa santai, warna cerah, fitur khas lokal, hingga momen budaya jadi elemen penting biar aplikasi terasa “punya kita banget”.

Buat developer dan desainer, pelajaran besarnya jelas: kalau mau bikin aplikasi sukses di Indonesia, jangan lupakan sentuhan lokal dalam desain UI. Karena pada akhirnya, aplikasi yang paling dicintai adalah yang paling nyambung sama keseharian penggunanya.


See More Posts

background

Desain UI Lokal: Bagaimana Aplikasi di Indonesia Menyesuaikan dengan Budaya?

background

Minimalis VS Maximalis: Mana Gaya Desain yang Lebih Efektif Saat Ini?

background

Motion Design dalam UI: Kapan Bergerak Itu Justru Mengganggu?

Show more