Social Engineering dalam Security Testing: Batas Etika dan Hukum

Azura Team2025-07-28

Azura Labs, Semarang – Di era digital yang semakin kompleks seperti sekarang, security testing nggak cuma ngomongin firewall atau celah di sistem backend. Salah satu metode yang semakin sering digunakan adalah social engineering—teknik manipulasi psikologis untuk mengakses informasi atau sistem yang seharusnya terlindungi. Tapi pertanyaannya: sejauh mana social engineering boleh dilakukan dalam konteks security testing? Apa batasan etika dan hukumnya?

Apa Itu Social Engineering?

Secara sederhana, social engineering adalah cara “meretas” manusia, bukan sistem. Contohnya mulai dari email phishing, telepon palsu yang menyamar sebagai staf IT, sampai taktik masuk ke kantor berpura-pura jadi kurir. Di skenario security testing, teknik ini sering digunakan untuk menguji kesiapan karyawan dan prosedur keamanan organisasi secara menyeluruh.

Kenapa Social Engineering Jadi Bagian Penting dari Security Testing?

Menurut laporan Cybersecurity Threat Outlook 2025, serangan berbasis manusia (human-based attack) menyumbang lebih dari 70% vektor awal serangan siber. Banyak organisasi yang sistemnya sudah aman secara teknis, tapi tetap kebobolan karena ada satu orang yang klik link mencurigakan atau memberikan password lewat telepon.

Maka dari itu, banyak tim keamanan mulai memasukkan simulasi social engineering ke dalam penetration testing atau red team operation. Tujuannya jelas: mengetahui seberapa siap manusia dalam organisasi menghadapi ancaman nyata.

Tapi… Apa Saja Batas Etikanya?

Nah, ini bagian yang sering jadi abu-abu. Karena menyangkut manusia, social engineering mudah melanggar privasi, merusak kepercayaan, bahkan memicu trauma jika dilakukan secara ekstrem. Beberapa batasan etis yang umumnya berlaku di dunia security testing antara lain:

  • Persetujuan tertulis (legal agreement): Semua pengujian harus disepakati sebelumnya, baik oleh organisasi maupun vendor keamanan.
  • No emotional manipulation: Tindakan seperti menakut-nakuti karyawan dengan kabar bohong tentang PHK atau kecelakaan dianggap tidak etis.
  • No personal harm: Jangan sekali-kali menggunakan data pribadi atau menyasar individu di luar konteks pekerjaan.
  • Transparansi pasca-pengujian: Tim harus memberikan laporan secara jujur dan edukatif, bukan menjatuhkan atau mempermalukan karyawan.

Bagaimana dengan Aspek Hukumnya di Indonesia?

Per Juli 2025, Indonesia belum punya regulasi spesifik tentang social engineering dalam konteks security testing. Namun, pelaku tetap bisa dijerat hukum jika melanggar:

  • UU ITE: Jika pengujian dilakukan tanpa persetujuan dan menyebabkan kerugian.
  • UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP): Menyasar atau menggunakan data pribadi tanpa izin bisa masuk pelanggaran serius.
  • Etika Profesional: Banyak asosiasi keamanan informasi seperti ISACA atau (ISC)² punya standar etika yang wajib diikuti oleh praktisi.

Maka dari itu, sangat penting untuk selalu mengantongi dokumen legal dan scope kerja yang jelas sebelum melakukan pengujian social engineering.

Kesimpulan

Social engineering bisa jadi alat powerful dalam security testing, tapi juga berbahaya kalau disalahgunakan. Di balik tiap simulasi, ada tanggung jawab besar untuk menjaga batasan etika, legalitas, dan kemanusiaan. Sebagus apa pun tujuan security testing-nya, tetap harus dilakukan dengan cara yang benar.


See More Posts

background

Cara Menyusun Laporan Hasil Security Testing yang Jelas dan Melekat di Kepala Manajemen

background

Social Engineering dalam Security Testing: Batas Etika dan Hukum

background

Perbandingan Tool DAST vs SAST: Mana yang Lebih Efektif di Tahun 2025?

Show more